Mendongak ke atas sana disiang hari takkan
ada apa-apa. Ya paling tidak terkena butiran hujan atau menatap awan sendu
bergerumul. Takkan ada pancaran sinar matahari yang muncul memanaskan mata bola
pingpongmu. Tunjuk kelangit mendung itu, selain awan hitam, langit keabu-abuan,
ada apa lagi disana?
“Eh, ada
senyum manis bulan sabit disana”
“Tapi
bukankah ini siang hari? Takkan mungkin ada bulan sabit terlihat”
Ku ambil cermin dan ku arahkan pada parasmu,
“coba saja
kau lihat ke cermin, mukamu terlihat jelek saat bingung. senyummu sedang
dipinjam langit untuk mencerahkan hari ini”
Hari berikutnya, coba lagi intip langit
diatas sana. Memang sedang cerah dan terik. Mata bola pingpongmu kali ini mungkin
tak kan kuat bila menatapnya.
“Tapi lihat
kearah lain, awannya membentuk dua lingkaran indah memancarkan kesejukan”
“takkan ada
matahari membuka cabang menjadi tiga!”
Masih saja dia tak percaya dengan apa yang ku
katakan, ku ambilkan lagi cermin untuknya,
“pantas saja
kau tak pernah percaya, matamu di pinjam langit untuk meneduhkan dunia, memberi
keseimbangan untuk cahaya matahari”
Malamnya, kami melihat bintang bersama.
Katanya, “bintang tak hanya muncul di
malam hari”
“ya, aku
tahu, bintang memang ada, tapi karena cahaya matahari, maka bintang tak
terlihat disiang hari”
“tidak,
bintang yang ini selalu terlihat disetiap aku melihat kedua matamu yang indah,
entah pagi, siang, senja ataupun malam”
Langit mungkin menertawakan kami, tapi kami
tidak pernah meminta biaya sewa untuk senyum dan mata kami.