Dua Puluh Dua

by - 08.27

Dua puluh dua, kemarin. Bertambah dewasa sudah harus. Bertambah berat badan sudah pasti jangan. Hawa hangat terasa kedalam sukma kala kedua pipi dan kening ini dikecup dengan basuhan do’a dari wanita tersayang dan paling tercinta. Sedetik kemudian air menetes sedikit dari sudut mata yang tidak bulat tidak pula sipit ini. Seakan darah mengalir deras tapi tetap terasa hangat. Selesai pelukan itu, kami sama-sama mengusap ujung mata kami. Kami memang melankolis.

Untaian do’a dan harapan terus mengalir sepanjang hari semoga semua akan terkabul. Bunga mawar putih kemudian menjadi pengharum pagi di dua puluh dua. Kemudian bungkusan yang agak besar berwarna ungu dengan hiasan bungkus kado yang indah bersanding bersama sang mawar. Entah apa isinya, jawab sang pemberi hanya senyum. Dan membuka bungkusan besar itu bersama-sama layaknya anak kecil berumur 5 tahun yang sedang membuka bungkusan kado ulangtahun dihadapan teman-temannya. Lagi-lagi pria ini membuatku tak habis pikir dengan pemberiannya. Cantik sekali isinya.

Sore menyambut dengan indah dan bungkusan persegi panjang ku dapatkan lagi. “untukmu lagi”, katanya. Entah apa lagi, dan kemudian bersama-sama lagi membuka bungkusan itu. “terimakasih” kataku untuknya yang tak pernah mau menebarkan janji.

Lilin-lilin kecil tak ku sangka mulai beraksi diatas bulatan berwarna coklat. “selamat ulangtahun lagi” kata ibuku bersama dua adikku. Meski tak selengkap tahun kemarin, tapi ayah pasti do’akan dari sana.

“hidup harus terus berjalan kedepan, meski bumi hanya berputar pada porosnya. Yang lalu takkan pernah kembali. Yang hilang takkan muncul lagi. Hidup terlalu berharga untuk terus dihiasi dengan tetesan air mata. Takkan tumbuh bunga mawar yang indah jika disiram dengan air mata.”- dua puluh dua di dua puluh tiga.

You May Also Like

0 komentar