Aku Panggil Ia, Arjuna

by - 07.45

Sore itu, sesaat matahari mulai berubah warna menjadi orange beraroma kopi susu terfavorite, kita duduk berdampingan sambil saling menikmati keindahan senja itu di halaman rumah. Duduk di pendopo depan rumah, kita berbincang, tertawa dan sesekali termenung. Seperti biasa, kita ceritakan tentang hari-hari lalu yang kita lalui, dan tak sedikit pula kita sama-sama tersenyum membericakan masa depan. Senangnya aku saat bisa menceritakan hari-hari sulit dan hal yang mudah yang dapat ku lalui tanpa dampingannya. Tersenyum aku saat mendengar semua ceritanya yang jarang sekali ku dengar keluhan dari mulutnya. Akulah yang manja yang biasanya banyak mengeluh padanya. Ia ceritakan masa kecilnya, masa-masa alay-nya dan masa-masa terlabil-nya. Sesekali aku menertawakan ceritanya yang sambil ia peragakan seperti sedang melawak. Sama. Ia pun tak jarang menertawakan hal bodoh yang ku lakukan untuk melalui hari yang ku anggap sangat sulit ku lakukan sendirian.

Aku panggil ia Arjuna.

Ia bukan sosok tampan, tinggi dan putih di cerita mahabarata. Ia pun juga bukan orang yang khas membawa busur panah kemanapun ia pergi. Tapi tak perlu ia tampan dalam wajah, cukup baik budi pekertinya. Ia tak perlu juga ahli dalam menggunakan busur panah, tapi ahli lah menjadi orang yang lebih baik setiap harinya.

Arjuna,
Tumbuhlah setiap harinya dengan perangai yang baik. Meskipun saat ini mungkin memang aku tak bisa melihatmu setiap harinya, tapi do’a ku untukmu setiap waktu. Jadilah orang yang terus membanggakan orang-orang yang menyayangimu.

Semakin hari, hidup pasti memiliki arti yang sangat bermakna. Kita tak mungkin setiap sore menikmati kopi seperti ini. Akan selalu ada suasana baru yang akan kita lalui. Tapi ku harap itu masih bersamamu.

Kita masih akan selalu bersama-sama bercerita, tertawa bersama, termenung bersama, mengkhayal bersama dan mungkin sampai nanti jika aku harus menangis tak mampu menahan liarnya kehidupan ini, aku hanya berharap kau takkan melihat tetesan air yang sedikit jatuh membasahi ujung mataku. meskipun semuanya pasti di suasana yang berbeda. Mungkin bukan lagi di halaman rumah seperti ini. Mungkin saja kita akan menikmati kopi di senja pegunungan, atau pagi hari dipinggir pantai dengan alunan ombak. Apa saja tapi ku harap masih bersamamu, Arjuna.

“jika memang menjadi superhero begitu mustahil, cukuplah menjadi pendengar yang baik untuknya.”


You May Also Like

0 komentar